Everything You Know the Story

Chapter 4 : Perjalanan Keputus asaan

Chapter 4 : Perjalanan Keputus asaan



Chapter 4 : Perjalanan Keputus asaan




Siang hari yang menyengat, aku dan teman-teman baruku berjalan menelusuri gurun yang tiada habisnya ini. Sudah beberapa kali kami mencari-cari tempat yang cocok sebagai markas utama kami. Ya, itulah keputusan kami bersama. Tapi untuk apa mencari tempat itu jika kami semua tidak memiliki tujuan untuk bertahan hidup.

            Mungkin hanya aku yang tidak tau tujuan dari semua ini. Apa callysta tau dari maksud mereka?. Ingin sekali menanyakan hal itu kepada mereka. Callysta yang sedang asik bercanda bersama teman laki-laki barunya yang seperti orang jepang. Bernama kano. Sedangkan aku berjalan didepan mereka yang disampingku ada perempuan berbadan besar yang menyelamatkan kami, bernama Angela, dan laki-laki bertubuh lesuh disampingnya yang bernama Balen.

            Sepertinya mereka berdua dibelakang memang serasi saat bercanda riang. Bukannya cemburu, aku hanya takut persahabat aku dan callysta menjadi renggang.
“Hei Lisna, kano ini juga kuliah sama seperti kita. Tapi, dia berbeda jurusan dengan kita” kata callysta dari arang belakang, aku langsung menengok kearah belakang dan terlihat dari wajahnya yang gembira. 

“ahhh..pantas saja aku pernah melihat mukamu...” balasku basa-basi kepadanya. Dan kano membalas dengan senyum lebar diwajahnya lalu aku berbalik badan seperti semula.

            Aku melihat beberapa bangunan besar dari tempatku berjalan. Tak salah lagi, itu akhir dari padan gurun ini. Aku melihat kearah samping yang sepertinya mereka berdua juga melihatnya. Callysta dan kano juga sepertinya melihat, jadi aku tidak usah repot-repot memberitau mereka. Dengan seketika kami semua mempercepat jalan tapi dengan perasaan gelisah, kaget sekaligus takut. Sudah tiga kali kami melihat monster mengerikan itu didekat kami. Entah karna memang takdir atau keberuntungan, kami semua tidak dimakan oleh Anomalia.

Kupikir seisi bumi ini sudah tertutup oleh pasir. Lalau seketiaka muncul satu pertanyaan didalam benakku. Mungkin teman-temanku juga mempunyai pertanyaan dalam dirinya sama. Apa didunia ini masih ada air?.

            Kami semua melanjutkan jalan. Terlihat gedung-gedung tua yang sudah 6 tahun tidak dihuni. Kano dan Callysta yang masih dibelakang aku, terlihat sedang memegang lengan baju kano dengan kuat. Tapi kano juga terlihat takut dari raut wajahnya. Ahahaha...mungkin percintaan pertama....

            Dari sela-sela gedung aku seperti dilihati oleh monster-monster besar yang seolah-olah kami semua mangsa empuk bagi mereka. Semakin jauh kami menelusuri jalan setapak yang besar, mata-mata itu mulai menghilang dari pandangan kami. Memang kami semua belum mempunyai tekad untuk melawan mereka. Jika saja kami berusaha melarikan diri ke spatium sepertinya mereka yang tinggal dispatium tidak akan senang dengan kedatangan kami.
Itu sama saja bunuh diri.

            Sepertinya jalan setapak yang terlihat retak ini adalah jalan raya, aku melihat tanda yang agak karat dan berbolong terdapat kata Bolliming. Jalan yang dahulu aku lewati saat pulang bermain bersama temn-temanku. Mungkin sekarang mereka sedang santai – santai sambil melihat kehancuran bumi dari Spatium. Yahh...itu tidak mengherankan bagiku...

            Kulihat wajah teman baruku dari arah samping aku berjalan, sepertinya mereka juga kenal jalan ini. Apa kita dahulu pernah saling bertemu? Bahkan menganal?...itu tidak mungkin...mengingat kano yang keturunan jepang. Sepertinya ia dahulu hanya bermain di dojo dirumahnya.

            Tidak ada pemimpin di kelompok kecil ini. Semua hanya berjalana dengan kesepakatan bersama. Walaupun aku tidak pernah mengeluarkan pendapat dari mulut kecilku ini.  Aku hanya mengangguk setelah semua setuju. 

            Untuk Callysta, aku dan dia bisa berteman saat aku melakukan hal ceroboh di tempat kuliahku dan dia menolongku. Dia cantik, baik, dan disukai para kalangan laki-laki maupun perempuan. Seperti karakter film yang dibuat dengan skenario.

            Sampai dipertigaan jalan kami semua terhenti, dan terlihat gelisah. Kami yang dahulu tinggal didaerah ini tapi bingung memilih jalan. Jika, mereka semua ingin menetap dirumah sebagai markas utama. Aku tau tempat yang tidak terlalu jauh dari kami berdiri.

Tapi, bagaimana kalau tempat itu sudah tak ada. Apa yang harus kulakukan selanjutnya, pasti mereka membenci diriku...

            Aku melihat mereka bergerumbul membuat lingkaran bulat kecil dan sedang berbicara dengan suara pelan tapi serius. Aku yang tidak jauh dari lingkaran bulat kecil itu memikirkan apa yang harus kuucapkan.

Berlama-lama disini sama dengan menyerahkan diri kepada Anomalia, dan pergi dari tempat ini dengan perasaanku yang bimbang...

            Seketika tatapan tajam mereka melihat kearahku, callysta juga begitu.  Aku yang bimbang dan ditambah dengan tatapan tajam yang entah apa maksud tatapan mereka. 

            Kano dan balen yang menghampiri diriku dan sekarang berada tepap didepan diriku. Aku menegakkan diriku yang seolah-olah aku tegar dihadapan mereka.

“kami semua bergantung padamu...hanya kau Lisna, yang tau tempat ini...” Ucap kano yang keluar dari mulutnya dengan bebas . aku yang mendengar itu, tubuhku langsung lemas...tidak bisa berbohong lagi...apa aku harus menjawab jujur...

“eerrrr....bukankah kalian juga tau tempat ini?” tanyaku sangat gugup....
 
“jika kami tau, tidak mungkin kami berunding seperti tadi” jawab Kano.

Benar juga...

“...a-aku tau te-tempat yang pas...ti-tidak jauh dari sini...”kataku sambil menunjuk jalan kekanan dengan jempol. Mereka berdua yang berada dihadapnku seraya mengangguk dengan tatapan tajam.

            Aku yang sekarang berjalan didepan teman-temanku dengan berjalan perlahan sambil memandang sekitar berulang kali karena gugup. Pikiran negatif selalu menghantui dalam kepalaku.

Dijalan setapak yang retak ini digantikan oleh tanah-tanah tandus dan didepan kami ada beberapa rumah tua yang sudah hancur oleh umur dan mungkin hancur oleh anomalia. Tapi aku tetap maju tanpa memikirkan rumah tua itu.  Tak lama setelah jalan, terdapat pohon-pohon kering yang tak berdaun. Terlihat seperti film horror. Aku sedikit terttegun melihat masih ada pohon yang berdiri tanpa daun.

Tempat yang kami tuju adalah rumah temanku yang jauh dari perkotaan. Rumah yang besar tapi hanya dilapisi beberapa besi. Dahulu aku sering bermain karena tempat yang berada ditengah hutan. Mungkin, ini juga sebagai keberuntungan kami.

Tapi, bagaimana jika rumah itu tidak ada? Apa yang harus kubilang kepada mereka?.

Hanya dilapisi beberapa pohon saja, aku dan teman baruku sudah dekat dengan rumah itu. Semoga saja tidak hancur... 

Sepertinya teman-temanku yang berjalan dibelakangku merasa heran. Sesekali kano yang berjalan menginjak ranting-ranting pohon terdengar suara menggema dikupingku. Pikiran negatifku mulai terukir dalam otaku. Apa ia merasa kesal?. Aku tidak berani memalingkan wajahku kebelakang.

Tapi, aku harus memalingkannya. Karna yang tepat didepan mataku terlihat rumah tua, dengan lapisan besi dan beberapa barang tua terdampar tak terurus. Aku sedikit lega dan menjelaskannya kepada mereka.

“apa rumah ini cukup untuk dijadikan markas?” tanyaku yang memalingkan wajahku kebelakang. Tapi, mungkin mereka merasa aneh dan saling memandang satu sama lain. Aku mulai kehilangan percaya diriku.

“yah...paling tidak rumah ini berada didalam hutan...” ucap seorang yang bertubuh kurus dan lusuh. Balen.

            Kami semua memasuki rumah tua itu dengan berhati-hati. Tepat didepan pintu kubuka dengan perlahan, terlihat sangat gelap, dan hanya beberapa cahaya yang masuk.  Temanku Callysta tampak sedikit takut dan memegang lengan kano.

            Banyak pecahan beling dilantai sehingga membuat suara-suara kecil. Yah, itu juga membuatku takut. Untuk sekarang aku memeriksa  ranselku dan mengeluarkan korek api. Untung saja aku membawanya.  Dan sepertinya aku mengharapkan ada beberapa lilin ditempat penyimpanan barang.

            Aku menarik lengan baju balen untuk menemaniku, dan tanpa omonganpun dia sudah tau maksudku. Sementara angela, Kano, dan Callysta berjaga dipintu masuk. Mungkin karena keadaan gelap kami semua tidak boleh sembarang masuk.

            Tepat diruangan dapur terdapat berangkas kecil diatas kulkas, aku menghampiri berangkas itu dan menyerahkan korek api kepada ballen, semoga saja beberapa lilin masih berada disana. 

            Aku membawa berangkas itu ketempat westafel supaya mudah untuk kubuka, ballen mengikutiku dari belakang dengan korek yang masih menyala.  

            Berangkas kecil ini terbuka dengan suara decitan kecil menandakan sudah sangat karat. Tanganku mengambil beberapa batang lilin yang masih utuh, aku tidak bisa melihat kedalam berangkas karena hanya membuka beberapa centi saja. Tapi, sepertinya aku harus mengeluarkan semuanya. Terdapat 7 batang lilin yang masih utuh, sisanya sudah hancur. 

            Aku dan balen berbalik da menuju tempat callysta menunggu dengan dua lilin ditanganku, sedangkan balen berjalan dibelakangku seperti tadi dan memandang sekitar. 

“Sepertinya kita hanya mendapatkan beberapa penerangan disini” ucapku dembari memberikan satu batang lilin kekano. “setidaknya, kita bisa hidup satu hari didalam rumah ini. Sepertinya dalam satu hari kita akan menghabiskan 3 lilin. Satu dikamar perempuan, satu dkamar laki-laki, dan satu ruang tengah untuk kita kumpul.” Jelasku kepada mereka bertiga.

“Kenapa kita tidur diruang tamu saja berbarengan, untuk meminimalisir penggunaan lilin dan juga jika ada perlu apa-apa sangat mudah.” Ucap wanita besar dengan mematikan lilin yang berada di tangan kano.

“Tapi apa semuanya setuju?” tanyaku dengan memandang mereka bertiga.

“Aku setuju, kita tidak usah repot-repot kemar satu kekamar lain hanya untuk menyampainkan sesuatu.” Ujar kano.

“Yahh...aku juga setuju.” Ucap Callysta yang lalu mendekatkan diri kepadaku. Mendengar temanku berbicara seperti itu rasanya dia memang ingin dekat dengan kano. Ya, tapi biarlah...

“Kalau begitu, kita kelantai atas saja. Sepertinya lebih bagus daripada dibawah sini.” Kataku yang sedikit melihat bagian atas lalu berbalik memandang callysta.

            Kano sesegera mungkin menutup pintu keluar dengan rapat-rapat, dengan bantuan balen. Memang sangat susah pintu itu jika ditutup.

            Kami semua menuju lantai atas dengan cara bergantian, karena tangga untuk menuju keatas memang sudah bobrok. Untuk meminimalisir yang terluka, kami semua tau tidak ada yang membawa P3K. Bahkan untuk makanan saja, hanya beberapa roti saja yang kano dan balen bawa setelah mereka mencuri dari rumah., dan untuk minum, hanya tersisa 3 gelas air mineral karena sisanya sudah habis dalam perjalanan kesini.

            Setelah semuanya sampai, kami sesegera mungkin membersihkan lantai dan membuang beling-beling kecil kesudut yang lain. Dari tempatku diri didekat jendela, kubuka sedikit jendela supaya angin memasuki ruangan, aku memandang keluar dunia yang tak ada habisnya dari tempat kita tinggal.

“Jika kau terlihat oleh monster itu kita semua akan mati lho.” Ucap kano terhadapku yang secara tidak langsung unutk menutup jendela.  

“oh, baiklah..” 

“apa kita tidur disini semua?” kata balen…

“Jika memang ada kamar yang bisa dipakai, silahkan saja tidur sendiri..” kata Angela yang sembari membantu Callysta membersihkan lantai.

“Tidak seru dong…” canda ballen.  

            Setelah ruangan ini bersih, lantainyapun terlihat bersih, darpiada pertamakali kita datangi, mungkin cukup untuk kita tidur. Aku berbaring dilantai yang diikuti Callysta disampingku, tetapi rasanya dia terlihat jenuh.

Tapi, apa yang ia pikirkan ya?.

“hei, gadis cantik, bolehkah aku tidur bareng dengan kalian?” tiba-tiba ballen menghampiri kami berdua yang sedang terlentang dengan wajah konyolnya.

“Tidak, Tidurlah bareng monster jelek itu.” Ucapku secara spontan, aku berpikir kalau kata-kataku barusan memang sedikit kejam. 

“Waaahhh…dia membenciku…”katanya sembari senyum.
Wahh..apa aku harus meminta maaf…

“Eh ballen, apa kau tidak terpikirkan bagaimana dengan nasib teman kita, sepertinya Angela selalu memikirkan dia…”

Teman kita? AKu yang mendengar itu langsung melihat angela sedang berdiri didepan jendela.
“Oh, Julius ya...”

“Apa kalian mengenal Julius juga ?” tiba-tiba Callysta dengan nada tinggi mendekati Kano. 

“Maksudmu Si Julius Alzalius kan?!”

“ya…aku juga sudah dengar, bahwa dia mempunyai temen perempuan. Dan ternyata kau.” 

Katanya. “walaupun kecil harapannya dia hidup sih…”

Apa Cuma aku saja yang tidak tau dia?

“Julius itu siapa?”tanyaku kepada Callysta.

“Oh, kau tidak tau ya…wajar sih, dia memang tidak terkenal Dikampus, ataupun dimana…” katanya. “waktu saat aku ingin memperkenalkan teman laki-laki kepadamu. Saat waktu itu kamu lebih tertarik melihat penerbangan pesawat excel,mkau ingat?”

Oh..yang waktu itu…

“apa kau juga mengenalnya callysta?”Tanya ballen yang memandang wajah temanku.

“aku dulu satu SMA denganya…walaupun akhir-akhir ini kami juga sering Chat-an” 

“kami juga kenal dia karena dia bekerja ditempat perusahaan yang sama.” Kata kano. “aku bisa membayangkan kalau dia masih dirumah bermain game tanpa memperdulikan sekitar.” 

Candanya yang mukanya sedikit sedih, seolah-olah dia ingin menglihangkan rasa kesedihannya itu lewat hiburan kecil. Tapi, mereka semua seperti merasa bersalah. 

            Aku sekarang tidak tau harus berbuat apa, aku hanya duduk terpaku disebelah Callysta sambil menundukan kepala.

“Merenungkan dia dan kita tidak berbuat apa-apa sama saja kita bunuh diri perlahan, untuk saat ini kita harus memikirkna bagaimana kita hidup berhari-hari dengan makanan yang tipis.” Kata balen sambil menepuk pundak kano. Bagaimanapun dalam tim kami laki-laki lah yang memimpin, balen berkata seperti itu supaya kano tidak terlalu setres memikiran bebagai macam.

“Ya, kita sudah susah payah keluar dari dinding besar itu dan bertahan hidup sampai sekarang, mungkin manusia diatas tidak akan  bisa hidup seperti kita.” Saut kano.

“tapi, apa tujuan kita bertahan hidup ini?” Tanya Angela. “Kita memang sudah bertahan hidup sampai saat ini, tapi kita semua tidak mempunyai tujuan yang jelas. Jika saja kita ingin bertahan hidup saja, seperti membangun peradaban baru,  bagaimana caranya?.
kita tidak tau suatu saat nanti diantara kita bisa mati karena kelaparan atau dimangsa oleh monster itu. Kita tidak mempunyai keterampilan memburu, bahkan kita juga tidak mempunyai keterampilan menanam sesuatu. Kitaa hidup didalam keterpurukan yang mana kita dibagi oleh langit dan bumi dan dikurung dalam dinding besar.”

            Aku yangbaru pertama kali mendengar Angela berbicara seserius itu terpaku dan tidak bisa menjawab jika saja aku yang ditanya seperti itu. Keputus asaan ini masih terus berlanjut yang tidak ada ujungnya.

“lenyap perlahan itu lebih menyakitkan dari apapun. mungkin keputusan terbaik kita ada dua yaitu kita harus bertahan hidup sampai dinding selanjutnya yang jauhnya sampai 390 Kilometer dari dinding kita dan hidup disana seperti biasa atau kita bisa saja mencuri kapal induk mereka dan pergi menuju Spatium. Apapun keputusannya aku akan ikut.”

            Jika saja kami berhasil bertahan hidup sampai dinding berikutnya dan hidup seperti biasa disana mungkin kejadia ini akan terulang lagi, dan jika saja kami pergi kespatium…
aku akan bertemu dengan kakak-ku tapi…

“berpikir dewasa ya…” ucap kano. “Lebih baik mati ditempat damai daripada mati didunia yang hancur ini. Itu kutipan dari Julius ketika dia menganalisis kenapa orang dewasa ingin pergi ke Spatium. Jawabannya ada dua yaitu ingin mati ditempat damai dan sebelum mati ingin berfoya-foya dahulu.” Lanjutnya.

“mungkin kita mengambil jawaban pertama.” Ucap Balen yang sekarang duduk didepanku sambil memikirkan sesuatu. “pepatah dahulu juga mengatakan jika kita terlalu senag dengan segala hal itu sama saja mencelakakan diri sendiri.”

“Aku ingin tau siapa yang membuat spatium itu.” Ucap calysta yang disampingku sambil memandang aku dan seketika menoleh ke kano.

“Bagaimana denganmu Lisna? Ada pendapat lain?” Tanya kano kearahku dan sepertinya dia mengharapkan aku ikut dengan mereka. Sejujurnya aku juga ingin pergi kesana tapi disisi lain aku tidak ingin.

“Sebenarnya…kakakku bekerja disana. Jadi, bisa saja calysta menanyakan siapa pembuat spatium.” Jawabku yang berkata ikut dengan tak langsung.

            Setelah membahas semua keputus asaan, kami semua bersiap untuk menjaga diri dimalam hari, Aku dan calysta menutup tangga utama dengan berbagai kayu supaya tidak terlihat oleh monster. Sedangkan balen menutupi jendela dengan jaket miliknya, beruntung dilantai dua ini hanya satu jendela yang tidak memiliki gorden.

            Angela menyalakan satu lilin, untuk menerangkan ruangan ini, karena hari sudah gelap, apalagi kita didalam hutan. Walaupun hanya sekitar saja yang terang tapi ini cukup untuk kami menunggu rasa kantuk tiba.

“oh ya, dimana kamar mandi jika kebelet?” Tanya calysta kepadaku.

“Sejujurnya…kamar mandinya ada dilantai bawah…” kataku sembari meilhat calysta.

“Eh?...bagaimana jika aku kebelet saat tengah malam...?”

“kalau gitu tahan saja sampai pagi tiba…”canda kano kepada calysta, terlihat wajah calysta mulai cemberut kepada kano. 

“kau sendiri kano terlihat gelisah... apa kau yang kebelet pipis ya?” ucap calysta . “aku sih sebenarnya bisa tahan sampai pagi.”

“Sudahlah…jika kalian takut aku akan mengantar kalian.” Kata balen yang sekarang melihat kewajahku. “terutama kau lisna, aku pasti akan mengantarkan kamu sampai masuk kamar mandi.hahahaha!” 

Mesum! Tapi itu kuanggap sebagai candaan dia saja.

“Dengar ya lisna, jika ada yang memegang tubuhmu malam-malam itu pasti balen, ITU SUDAH PASTI!” kata Angela yang menatapku tajam-tajam.

“Ayolah, akukan hanya bercanda…”

            Memang menyenangkan kumpul bersama mereka, bagi mereka ada kalanya serius dan ada juga waktunya bercanda. Andai saja aku tidak terlahir pendiam seperti ini, mungkin sifatku akan tercermin seperti balen, dan menambahkan suasana menjadi senang.

            Ngomong-Ngomong Bagaimana keadaan teman mereka ya…Mereka bisa saja melupakan suatu hal dengan cepat dengan candaan dan mereka begitu cepat jika mengenang teman mereka yang entah kemana…

            Andai saja aku kerumah temannya itu, mungkin saja aku bisa mengajak dia sampai kesini.
Mungkin Saja.

-Orang yang cerdas tidak mungkin meninggalkan temannya atau keluarganya sendiri hanya untuk keuntungan pribadi. Jika kalian sudah bisa berpiir seprti itu maka kalian sudah dianggap dewasa.-
-Lisna Sachelia-

0 komentar: